Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 63): 3. Wanita yang Tidak Memiliki Rutinitas Haidh Juga Tidak Bisa Membedakan Sifat Darah

Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 63)


KAJIAN FIQIH
Dari kitab:
Fiqhu al-Mar'ati al-Muslimati
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد :

Saudaraku seiman, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepadaku dan kepada kalian semua.

Kita sampai pada pembahasan macam-macam keadaan wanita yang istihadhah, tepatnya ada tiga macam:

1. Wanita yang memiliki rutinitas haidh.

2. Wanita yang tidak memiliki rutinitas haidh, tapi dia bisa membedakan sifat darah.

Sekarang kita lanjutkan yang ketiga:


hal.90

hal. 91


3. Wanita yang tidak memiliki rutinitas haidh juga tidak bisa membedakan sifat darah.

Yakni darah keluar terus, dari pertama darah keluar dia melihat sifat darah yang sama, atau hampir sama, dan tidak mungkin seterusnya darah yang keluar itu adalah darah haidh, maka keadaan seperti ini dia hendaklah mengikuti keumuman para wanita, mayoritas wanita mengalami haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulan, yang diawali ketika darah keluar, adapun selain itu dihukumi istihadhah.

Contoh:
Seorang wanita pertama melihat darah keluar pada tanggal 5 dan darah terus keluar tanpa dia bisa membedakan sifat darah haidh, warna dan sifat yang lainnya sama, maka hendaknya dia menghukumi haidhnya enam atau tujuh hari pada setiap bulan, diawali dari tanggal 5 sampai tanggal 10 atau tanggal 11 setiap bulan, sedangkan hari-hari setelahnya dihukumi istihadhah.


Dalilnya, hadits Hamnah bintu Jahsyinرضي الله عنها ketika dia bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

إِنِّيْ أسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنِيْ الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mendapati darah keluar yang sangat banyak, maka bagaimana menurutmu apakah saya harus berhenti shalat dan puasa?"

Maka beliau menjawab:

أنْعَتُ لَكِ - أَصِفُ لَكِ إِسْتِعْمَالُ - اَلْكُرْسُفُ - وَهُوَ الْقُطْنُ - تَضَعِيْنَهُ عَلَى الْفَرْجِ ، فَإِنَّهُ يَذْهَبُ الدَمَ

"Saya jelaskan kepadamu untuk menutupkan kapas di atas farji karena itu bisa menghentikan darah."

Hamnah رضي الله عنها berkata lagi :

هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ

"Darah lebih banyak dari itu."

Maka beliau bersabda:

إِنَّمًا هَذَا رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَانِ فَتَحِيْضِي سِتَّة أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةٍ فِيْ عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى ، ثُمًّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّيْ أَرْبَعًا وًعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامهَا وَصُوْمِيْ

"Itu (darah istihadhah) adalah salah satu hentakan dari setan, maka hendaklah kamu hitung haidh enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, setelah itu lalu mandilah sampai engkau sudah teranggap suci dari haidh, lalu shalatlah selama duapuluh empat atau duapuluh tiga hari pada siang dan malam harinya, dan puasalah." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang maknanya "Enam hari atau tujuh hari", itu bukan bermakna untuk memilih sekehendak hatinya, tapi hal itu mengandung makna 'ijtihad' yakni bersungguh-sungguh menentukan mana yang lebih tepat sesuai untuk dirinya dengan cara mempelajari dan memahami wanita-wanita lain yang sama usianya, atau memperhatikan wanita-wanita kerabatnya (ibu, kakak, adik wanitanya, bibinya, dst.Pen) berapa hari rutinitas haidh mereka, maka seperti itulah dia menetapkan jumlah hari rutinitas haidhnya, jika mereka biasa enam hari haidh maka dia memutuskan enam hari masa haidhnya jika mereka biasa tujuh hari haidh maka dia tetapkan tujuh hari masa haidhnya.

KEADAAN WANITA YANG MENYERUPAI ISTIHADHAH
Dalam keadaan tertentu terkadang seorang wanita mengeluarkan darah dari farjinya, misalnya setelah operasi pada rahim atau daerah sekitar rahim, maka dalam kasus ini ada dua macam:


1. Telah umum diketahui bahwa tidak akan haidh lagi seorang wanita setelah operasi, seperti operasi pengangkatan rahim, atau operasi diikat rahimnya, sehingga karena itu darah tidak akan keluar lagi dari rahim (darah haidh), maka jika si wanita setelah operasi tersebut keluar darah dari farjinya dia tidak dihukumi haidh, akan tetapi dia dihukumi seperti wanita yang keluar cairan kuning, keruh, atau flek-flek setelah suci dari haidh, maka hendaknya dia tidak meninggalkan shalat maupun puasa, juga boleh jimak, dan tidak wajib mandi karena keluar darah (sebab darahnya suci, bukan darah haidh).

Akan tetapi dia harus:

Mencuci farji dari darah setiap akan shalat, menutup farji dengan kain (pembalut, pen) agar darah tidak keluar (mengotori pakaian dan tempat shalat), kemudian berwudhu untuk shalat.

Dan janganlah berwudhu kecuali telah masuk waktu shalat fardhu, atau boleh pula dia berwudhu jika ingin mengerjakan shalat sunnah muthlaqah.

2. Tidak diketahui bahwa setelah operasi akan berhenti haidhnya, bahkan mungkin dia masih mendapati rutinitas haidhnya setelah operasi.

Maka jika darah keluar dari farji, dihukumi istihadhah jika keluarnya di luar rutinitas hari-hari haidhnya.

Berdasarkan hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy:

إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضًةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةِ فَاتْرُكِيْ الصَّلاَةَ

"Sesungguhnya itu hanyalah (darah dari) pembuluh darah, bukan darah haidh, maka jika datang masa haidh tinggalkanlah shalat." (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang artinya "maka jika datang waktu haidh" ini mengandung makna hukum wanita istihadhah yang juga mengalami haidh, maka dia dihukumi ada waktu-waktu:

Datang haidh, dan
Berhenti haidh

Keterangan pen:

Yakni, ketika datang haidh di hari-hari biasa dia mendapati haidh, maka dia harus berhenti shalat, puasa, dll.
Dan ketika berhenti/habis masa rutinitas haidhnya, dia wajib shalat, puasa, dll setelah mandi suci dari haidh, meskipun darah masih terus keluar, karena setelah habis masa haidh dia dihukumi mustahadhah (wanita istihadhah) .
(selesai keterangan pen)

Adapun wanita yang tidak lagi mendapati haidh, maka darah yang keluar dari pembuluh darah (istihadhah).

HUKUM-HUKUM ISTIHADHAH:


bersambung in sya Allah
Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada hari Selasa, 20 Jumadil Akhir 1437 H / 29 Maret 2016 H

Nisaa' As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama