Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 59): Jika Jatuh Talak dengan Cara Tebusan/ Khulu'

Jika Jatuh Talak dengan Cara Tebusan/ Khulu'



KAJIAN  FIQIH
Dari kitab:
Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:



Saudaraku seiman, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepadaku dan kepada kalian semua.

Pembahasan fiqih yang kita kaji sampai pada apa saja yang haram dilakukan oleh wanita haidh. 

Pada poin ketujuh, haram menjatuhkan TALAK kepada wanita yang sedang haidh, tapi ada PENGECUALIAN boleh menalak wanita dalam keadaan haidh, pada TIGA keadaan:
1). Jika setelah menikah istri belum dijima' oleh suaminya
2). Jika wanita haidh dalam keadaan hamil.

Pertemuan 59 Hal. 86


Adapun yang ketiga kita lanjutkan sekarang:

3). Jika jatuh talak dengan cara tebusan atau khulu'

Maka boleh menjatuhkan talak meskipun wanita dalam keadaan haidh.

Misalnya, di antara suami istri sering terjadi:

Percekcokan/pertengkaran, atau
hubungan suami istri yang tidak harmonis,
maka boleh jatuh talak, dalam keadaan suami menerima tebusan dari istrinya, meskipun istri ketika itu dalam keadaan haidh.

Berdalilkan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما bahwa istri dari Tsabit bin Qays bin Syamas datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan berkata, "Ya Rasulullah saya tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi saya membenci kekufuran dalam Islam."

Keterangan pen.:

"Yang dimaksud 'membenci kekufuran dalam Islam' adalah, wanita tersebut tidak suka kepada suaminya bukan karena akhlak dan agamanya yang bagus, tetapi karena wajah suaminya yang buruk, maka istrinya meminta cerai karena sebab itu, dan dia khawatir tidak mampu memenuhi hak suami yang itu merupakan kewajiban istri untuk berkhidmat dan taat kepada suami, sementara istri tidak mencintai suaminya, itulah yang dimaksud 'membenci kekufuran di dalam Islam' yakni kufur kepada suami."
(selesai keterangan pen.) 

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,



أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟

"Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya?"

(yakni kebun milik suaminya yang telah diberikan kepada istrinya sebagai MAHAR akad nikahnya, pen.) 

Maka wanita tersebut mengatakan,  "Ya."

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda kepada suami wanita tersebut:



إِقْبَلْ الْحَدِيْقَةَ وَطَلَِقْهَا تَطْلِيْقَةً

"Terimalah kebun itu dan talaklah dia dengan satu talak." (HR. Bukhari)


🏽Perhatikan hadits di atas, di mana Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak bertanya, apakah wanita itu dalam keadaan haidh atau suci, sebab talak tersebut dari permintaan istri, maka BOLEH jika memang ada syarat yang syar'i, dan dalam keadaan bagaimanapun si istri (apakah sedang haidh, ataupun suci).

Berkata Ibnu Qudamah رحمه الله dalam kitab Al-Mughni, sebab bolehnya khulu' (permintaan cerai dari pihak istri) meskipun wanita dalam keadaan haidh, halaman 52 juz 7:

"Karena dilarangnya menjatuhkan talak ketika wanita dalam keadaan haidh adalah untuk menghindari mudharat yang akan menimpa wanita dengan lamanya masa 'iddah, Adapun KHULU' dilakukan untuk MENGHILANGKAN mudharat itu sendiri, yakni mudharat akibat kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis, atau mudharat yang didapati ketika harus hidup berumah tangga dengan orang yang tidak dicintai atau bahkan dibenci, dan hal itu (yakni jika mempertahankan pernikahan) maka MUDHARATNYA LEBIH BESAR daripada mudharat karena masa 'iddah yang lebih lama, maka BOLEH menolak mudharat yang lebih besar lebih diutamakan dari mudharat yang lebih kecil (yakni meskipun sedang haidh boleh ditalak, jika itu permintaan istri/khulu', sebab jika tidak khulu' mudharatnya lebih besar berupa kufur kepada suami, pen.) 

Karena itulah Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak bertanya kepada wanita yang melakukan khulu', apakah dia sedang haidh atau suci." (selesai penukilan dari kitab Al-Mughni)

Adapun AKAD NIKAH yang dilakukan terhadap wanita yang sedang haidh, maka tidak mengapa, karena hukum asalnya HALAL, dan tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi 
masuknya suami (tidur sekamar dengan istri) dalam keadaan istri yang baru dinikahi itu sedang haidh, hendaknya diperhatikan lebih dahulu:

Jika AMAN, yakni tidak akan dijima' oleh suaminya, maka ini boleh, tapi sebaliknya, jika tidak aman, yakni dikhawatirkan suami tidak sabar lalu menjima' istrinya, maka janganlah suami masuk dan sekamar dengan istrinya sampai dia suci, sebab khawatir melakukan sesuatu yang haram dan terlarang.

Bersambung in sya Allah


Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 14 Jumadil Awal 1437 H / 23 Februari 2016

===============

Akhawati fillah hafizhakunnallah, jika ada yang belum dipahami dari keterangan dars fiqih di atas, silakan dicatat untuk kemudian ditanyakan ketika jadwal Tanya Jawab. Barakallahu fikunna.


Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars kitab Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah yang telah berlalu, silakan kunjungi website kami
http://annisaa.salafymalangraya.or.id

Channel Telegram
http://bit.ly/NisaaAsSunnah




Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama