Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 64): HUKUM-HUKUM ISTIHADHAH

HUKUM-HUKUM ISTIHADHAH


KAJIAN  FIQIH
Dari kitab:
Fiqhu al-Mar'ati al-Muslimati
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد :


Saudaraku seiman, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepadaku dan kepada kalian semua.

HUKUM-HUKUM ISTIHADHAH

       Dari keterangan sebelumnya kita telah mengetahui kapan darah itu dikatakan darah haidh dan kapan dikatakan darah istihadhah, ketika itu sebagai darah haidh maka ditetapkan baginya hukum-hukum haidh, dan ketika itu termasuk istihadhah maka ditetapkan padanya hukum-hukum istihadhah. Sebelumnya telah dijelaskan hukum-hukum haidh.

       Adapun hukum-hukum istihadhah, maka seperti hukum-hukum wanita dalam keadaan suci, maka tidak ada beda antara wanita istihadhah dengan wanita suci, kecuali ada perbedaan pada hal-hal sebagai berikut:

Bagi wanita istihadhah ada ketentuan:

1. Wajib berwudhu setiap kali akan shalat, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ

"Kemudian berwudhulah kamu di setiap shalat." (HR. Bukhari)

Maknanya: Bahwa dia tidak harus berwudhu pada setiap shalat fardhu kecuali jika telah masuk waktu shalat fardhu.

Adapun jika bukan shalat yang tertentu waktunya (yakni akan shalat sunnah) maka dia boleh berwudhu apabila ingin mengerjakannya (mengerjakan shalat sunnah).

2. Jika akan berwudhu maka dia harus membersihkan sisa-sisa darah terlebih dahulu, kemudian menggunakan kain atau kapas untuk menahan darah, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Hamnah:

 أَنْعَتُ لَكِ الْكُرْسَفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ

"Saya terangkan kepadamu agar memakai kapas karena hal itu bisa menghentikan darah."

Hamnah berkata:

"Darahnya sangat banyak."

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا

"Maka pakailah kain."

Hamnah berkata lagi:  

"Darahnya lebih banyak dari itu."

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

فَتَلَجَّمِيْ

"Maka tahanlah (dengan kain yang diikat)." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Dan tidak mengapa jika darah terus keluar setelah itu, berdasarkan sabda Nabi  صل الله عليه وسلم kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

اجْتَنِبِيْ الصَّلاًةَ أَيَّامِ حَيْضًتًك ثٌمَّ   اغْتَسِلٍيٍ وَتَوَضَّئِيْ لٌكُلِِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّم عَلَى الْحَصِيْرِ

"Tinggalkan shalat pada hari-hari haidhmu kemudian mandilah dan berwudhulah setiap akan shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas tikar." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

3. Jimak, para ulama berselisih tentang bolehnya, tapi pendapat yang benar boleh secara mutlak, karena  banyak kaum wanita yang  berusia sepuluh tahun atau lebih telah mendapati haidh di masa Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian Allah dan Rasul-Nya tidak melarang menjimaki mereka, bahkan Allah ta'ala berfirman:

فاعتزلوا النساء في المحيض

"Maka jauhilah oleh kalian wanita-wanita yang sedang haidh." (QS. Al-Baqarah: 222)

Ini merupakan dalil bahwa tidak wajib menjauhi wanita/istri selain ketika haidh.
Mengerjakan shalat saja boleh bagi wanita istihadhah begitu pula jimak.
Adapun pendapat yang mengqiyaskan (menyamakan) menjimaki wanita istihadhah seperti menjimaki wanita haidh maka ini tidak benar, sebab istihadhah tidak sama dengn haidh, apalagi jika sampai menghukumi haram, begitu pula qiyas/menyamakan tidak benar jika ada perbedaan antara satu dengan yang lain.

NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA

Bersambung in sya Allah

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada hari Selasa, 27 Jumadil Akhir 1437 H / 5 April 2016 H



Nisaa' As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama