WALI NIKAH ADALAH HARGA MATI



◎ http://t.me/nisaaassunnah

📝 WALI NIKAH ADALAH HARGA MATI

Di antara aturan dalam syariat pernikahan adalah keberadaan wali bagi mempelai wanita. Wali mempelai wanita merupakan syarat sah pernikahan. Artinya, pernikahan tidak akan sah kecuali harus dinikahkan oleh wali dari wanita tersebut.

Persyaratan ini disebutkan dalam riwayat yang shahih, Rasulullah bersabda,

“Pernikahan tidak sah kecuali dengan (izin) wali.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Beliau juga bersabda,

“Wanita tidak bisa menikahkan wanita lain dan ia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882)

Dengan demikian, yang berhak menikahkan seorang wanita hanyalah wali dari wanita yang bersangkutan. Sehingga, secara mutlak, baik wanita yang masih gadis maupun janda, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.

Adapun hadits Nabi dengan redaksi,

“Wanita janda lebih berhak daripada walinya.” (HR. Muslim 1421)

Dijelaskan oleh para ulama, bahwa maksud hadits di atas adalah seorang wali tidak boleh menikahkan wanita janda hingga mendapat persetujuan darinya dengan persetujuan yang jelas. Berbeda dengan seorang gadis ketika hendak dinikahkan dengan seorang pria, maka diamnya sudah cukup sebagai persetujuan.

Kesimpulannya, hadits di atas tidak bermakna bolehnya seorang janda menikahkan dirinya sendiri (tanpa walinya). (Lihat Fatawa Ibnu Baz no. 22, 21/39)

🔎 Siapa saja wali nikah itu?

Dijelaskan oleh para ulama bahwa wali adalah ahli waris si wanita dari jalur ashabah bin nafs (ahli waris dari kalangan laki-laki).

Mereka adalah ayah kandung, kakek dari jalur ayah, anak kandung, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki dari saudara sekandung atau seayah, paman (dari jalur ayah) yang sekandung atau seayah, dan seterusnya dari garis para ahli warisashabah bin nafs. (Lihat al Liqa’ karya asy-Syaikh al-Utsaimin 4/159)

❗ Bukan wali nikah!

Dengan demikian, tidak seluruh karib kerabatnya berhak menjadi wali nikah, semisal paman dari jalur ibu, saudara laki-laki seibu dan yang lainnya dari kalangan dzawil arham (karib kerabat yang bukan ahli waris). Berikutnya yang tidak berhak menjadi wali yaitu, ayah tiri dan ayah angkat. Keduanya sama sekali tidak berhak menjadi wali.

Demikian pula guru, ustadz, dan kyai. Selama mereka ini bukan termasuk dari ahli waris si wanita tersebut dari kalangan ashabah bin nafs, maka tidak berhak memposisikan dirinya menjadi  wali.

Jika pernikahan dengan menggunakan deretan posisi di atas sebagai wali, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini menyelisihi bimbingan Nabi. Hendaknya mereka takut dan berhati-hati karena Allah berfirman (artinya),

“Maka takutlah bagi orang-orang yang menyelisihi perintah rasul-Nya, bakal akan ditimpakan fitnah (kemunafikan, kekufuran, dan kesyirikan) kepadanya, atau akan ditimpakan adzab yang pedih kepadanya.” (QS. an-Nur: 63)

📨 Perwakilan wali nikah (Taukil)

Berbeda halnya dengan wakil dari wali, yaitu si wali mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan wanita yang di bawah kewaliannya (taukil) dalam prosesi akad nikah. Sebagai contoh, wali dari mempelai wanita masih hidup, namun karena sesuatu hal semisal sakit atau halangan lainnya, sang wali mewakilkan akad nikah kepada orang lain seperti kepada bapak penghulu, bapak mudin, ustadz, kyai atau yang lainnya. Maka, hal ini tidak mengapa dan pernikahannya sah. Tentunya yang paling utama (afdhal)  menikahkan adalah walinya sendiri.

⚖ Wali Hakim

Pembaca, ada dua hal yang perlu dicatat.

Pertama, siapakah wali hakim itu?

Wali hakim adalah wali yang diangkat oleh pemerintah yang sah atau di bawah lembaga resmi pemerintah, bukan diserahkan kepada pribadi masing-masing. Sehingga seorang wanita tidak dibenarkan mengangkat wali hakim selain dari petugas resmi yang ditentukan oleh pemerintah.

Kedua, kapan wali hakim ini difungsikan?

Wali hakim ini akan difungsikan untuk si wanita yang tidak punya wali sama sekali, bisa jadi karena para walinya sudah meninggal atau sebab yang lain.

Demikian pula, manakala para wali si wanita tidak setuju dengan calon suaminya dan tidak mau menikahkan k

eduanya (tanpa alasan yang syar’i) maka dapat diadukan kepada KUA untuk diproses permohonan wali hakim.

Bila keberadaan wali tidak diketahui, apakah masih hidup atau sudah meninggal? Maka keputusannya diserahkan kepada lembaga resmi pemerintah, yaitu KUA (Kantor Urusan Agama).

Atas dasar ini tidak dibenarkan bagi seorang wanita mengangkat wali hakim untuk menjadi walinya sementara walinya masih ada. Misalnya, walinya berada di tempat jauh, sehingga sulit untuk menikahkan secara langsung.

Dalam kasus semacam ini cukup mengangkat wakil yang telah ditunjuk oleh walinya, melalui prosedur yang telah ditentukan oleh KUA. Semoga Allah senantiasa mencurahkan taufik dan hidayah kepada pemerintah.

🏷 Dinukil dari artikel yang berjudul:
Wali nikah, Syarat Sah Pernikahan & Benteng Kehormatan Wanita Muslimah [Serial Bimbingan Pernikahan-3] - Buletin Al Ilmu
http://buletin-alilmu.net/2016/09/02/wali-nikah-syarat-sah-pernikahan-benteng-kehormatan-wanita-muslimah-serial-bimbingan-pernikahan-3/
◎◎◎※◎◎◎◎※◎◎◎◎※◎◎◎
📬 Diposting ulang hari Jum'at, 16 Muharram 1439 H / 6 Oktober 2017 M
📠 http://t.me/nisaaassunnah
🌐 http://www.nisaa-assunnah.com

🎀 Nisaa` As-Sunnah 🎀
Lebih baru Lebih lama