Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if (Pertemuan 21)



http://t.me/NAmanhaj

Pertemuan 21

KAJIAN MANHAJ

Dari kitab:
Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if
(Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Mengkritisi Orang, Kitab dan Golongan)

Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Umair Al-Madkhali حفظه الله تعالى

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:

ORANG YANG BOLEH DIKRITIK DAN DITAHDZIR

2. PARA PERAWI DAN SAKSI-SAKSI YANG DICELA

Mereka ini boleh dicela menurut kesepakatan para ulama, bahkan wajib mencela mereka. (lihat kitab Riyadhus Shalihin, bab Dibolehkan Ghibah, hal.538-539. Dan kitab Majmu' Ar-Rasail wal Masail, oleh Ibnu Taimiyah 5/110) Hal itu dinukilkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Taimiyah رحمهما الله

A). Apabila para ulama Jarh wat Ta'dil sepakat untuk menjarh seorang perawi dengan pendusta atau memiliki kesalahan yang berat/parah, atau mereka mengatakan, haditsnya matruk/ditinggalkan atau haditsnya lemah, atau yang semisal itu, maka boleh bagi setiap orang yang menukil untuk mengambil periwayatannya, tapi sama sekali tidak boleh sedikit pun untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya apalagi mencari-cari kebaikannya kemudian menyebutkannya.

B). Adapun para perawi yang diperselisihkan antara ta'dil dan jarh (diperselisihkan apakah mereka dipuji atau dicela), atau perawi yang mubtadi' (dari golongan ahlul bid'ah):

1). Yang pertama, jika mendahulukan jarh (mencelanya) tanpa menganggap pendapat yang menta'dilnya (memujinya), hal ini berdampak menggugurkan sebagian dari agama yang bersumber dari sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم,  maka hal ini termasuk kerusakan yang besar, maka dalam keadaan seperti ini wajib mendahulukan kemaslahatan agama serta menjaganya. Dan demi kemaslahatan umum untuk kaum muslimin, maka harus berusaha mencari hakikat yang benar serta menimbang antara perkataan para ulama  Jarh wat Ta'dil dan mengambil jarh atau ta'dil, mana yang rajih (kuat).
Semua itu demi kemaslahatan ini dan  bukan demi mempertimbangkan pribadi perawi yang dijarh tersebut. Jika telah tetap menjarh-nya setelah mempelajarinya, maka boleh menyebutkan jarh-nya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan tidak ada seorang ulama-pun yang mewajibkan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.

ADAPUN SEORANG MUBTADI'

Maka jika kita dalam posisi mentahdzir kebid'ahan, maka kita tahdzir dia, hanya menyebutkan kebid'ahannya tanpa ada kewajiban bagi kita menyebutkan kebaikan-kebaikannya sedikit pun. Dan jika kita dalam posisi bab periwayatan, maka wajib kita menyebutkan kebaikan dan kejujurannya jika dia seorang yang adil dan jujur, sebab ini demi kemaslahatan riwayat dan demi menjaga riwayat tersebut, bukan karena sesuatu yang lain, maka tidak ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya yang lain sebagaimana diyakini oleh sebagian orang, tidak ada kewajiban untuk menyebutkan kedermawanannya, ilmunya, keberaniannya, perjuangannya, maupun akhlaknya yang tidak ada hubungannya dengan periwayatan.

•••━════━•••

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Senin, 18 Rajab 1440 H / 25 Maret 2019.
______

Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan melalui admin grup masing-masing.

Barakallahu fikunna

#NAManhaj #NAManhaj21
======================

Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if yang telah berlalu, silakan mengunjungi:
Channel Telegram
      ● http://t.me/NAmanhaj
      ● http://t.me/nisaaassunnah
Website
      ● http://www.nisaa-assunnah.com/p/namanhaj.html
      ● http://www.nisaa-assunnah.com

Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama