KAJIAN FIKIH
Dari kitab:
Fiqh Al-Mar'ah Al-Muslimah
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:
3. ORANG YANG MENGAKHIRKAN PUASA QADHA SAMPAI RAMADHAN BERIKUTNYA TANPA UZUR
Tidak ada kewajiban baginya kecuali puasa saja disertai dosa (berdosa karena menunda-nunda qadha tanpa uzur), inilah pendapat yang rajih. Di samping itu ada dua pendapat yang lain, yakni:
1. Wajib baginya qadha dan fidyah, berdasarkan hadits marfu' yang sangat lemah (dha'if jiddan) dan tidak bisa dijadikan hujjah/dalil juga berdasarkan atsar Ibnu Abbas dan Abu Hurairah tentang hal ini, inipun tidak bisa dijadikan hujjah, karena hujjah tidak ditetapkan kecuali dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, adapun perkataan sahabat tidak bisa dijadikan hujjah jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur'an.
2. Tidak ada kewajiban untuknya kecuali hanya membayar fidyah (memberi makan), bahkan tidak sah baginya puasa sebab puasanya itu (yakni puasa qadha di tahun berikutnya) merupakan amal yang tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Permasalahan keempat:
4. APABILA SESEORANG MELEWATI BULAN RAMADHAN DALAM KEADAAN SAKIT
Keadaan ini terperinci sebagai berikut:
1. Apabila diharapkan kesembuhannya:
Maka puasa tetap wajib baginya ketika dia sembuh. Akan tetapi jika sakitnya terus berlanjut sampai dia meninggal dunia, maka tidak mengapa baginya (yakni tidak ada dosa baginya), sebab dia wajib qadha dan ternyata dia tak bisa qadha - karena kematiannya).
2. Apabila sakit diharapkan kesembuhannya, kemudian sembuh, lalu meninggal sebelum qadha, maka wajib dibayarkan fidyah setelah kematiannya.
3. Apabila sakit tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
Maka wajib fidyah.
Meskipun akhirnya Allah memberi kesehatan padanya, maka dia tidak wajib qadha puasa, dan kewajibannya adalah membayar fidyah, dan hal itu telah dilakukan ketika dia sakit, maka dia telah terbebas dari tanggungan/kewajiban.
Permasalahan kelima:
5. ORANG MENINGGAL DUNIA YANG MEMILIKI HUTANG PUASA:
Maka walinya berpuasa untuknya, berdasarkan nash/dalil sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
"Barangsiapa meninggal dan dia punya hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya."
HR. Al-Bukhari (1851), Muslim (1147).
Lafazh "صوم" (puasa) berbentuk "nakirah" yakni umum, tidak dikhususkan pada puasa tertentu, maksudnya, kemungkinan itu adalah puasa qadha yang belum sempat dikerjakan, dan jika dia mati, maka walinya (yakni ahli warisnya) berpuasa untuknya, dan ini disunnahkan (yakni bukan merupakan kewajiban bagi ahli warisnya, pen.). Berdasarkan firman Allah ta'ala:
"Dan seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain." (QS. Al-Isra': 15)
Dan jika mereka tidak melakukannya, maka menurut kami (Asy-Syaikh Utsaimin رحمه الله): "Hendaklah memberi makan (fidyah, sejumlah hutang puasanya) kepada orang miskin, sebagai qiyas (disamakan hukumnya) dengan puasa fardhu."
Permasalahan keenam:
6. BOLEH BERPUASA SALAH SEORANG DARI AHLI WARISNYA, DAN BOLEH JUGA BEBERAPA ORANG AHLI WARISNYA BERPUASA
Dengan syarat, bahwa hutang puasanya bukan yang wajib berpuasa secara berturut-turut/bersambung seperti puasa kaffarah zhihar, maka jika hutang puasa yang harus dikerjakan berturut-turut/bersambung, maka yang membayarkan hutang puasanya harus satu orang saja dari ahli warisnya.
BAB PUASA SUNNAH
✒ Bersambung insya Allah
•••━══ ❁✿❁ ══━•••
Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 8 Rajab 1441 H / 3 Maret 2020 M.
Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan melalui admin grup masing-masing.
Barakallahu fikunna
#NAFiqih #NAFQ211
===================
Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Fiqh Al-Mar'ah Al-Muslimah yang telah berlalu, silakan mengunjungi:
من مات وعليه صوم، صام عنه وليه.
HR. Al-Bukhari (1851), Muslim (1147).
Lafazh "صوم" (puasa) berbentuk "nakirah" yakni umum, tidak dikhususkan pada puasa tertentu, maksudnya, kemungkinan itu adalah puasa qadha yang belum sempat dikerjakan, dan jika dia mati, maka walinya (yakni ahli warisnya) berpuasa untuknya, dan ini disunnahkan (yakni bukan merupakan kewajiban bagi ahli warisnya, pen.). Berdasarkan firman Allah ta'ala:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ
"Dan seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain." (QS. Al-Isra': 15)
Dan jika mereka tidak melakukannya, maka menurut kami (Asy-Syaikh Utsaimin رحمه الله): "Hendaklah memberi makan (fidyah, sejumlah hutang puasanya) kepada orang miskin, sebagai qiyas (disamakan hukumnya) dengan puasa fardhu."
Permasalahan keenam:
6. BOLEH BERPUASA SALAH SEORANG DARI AHLI WARISNYA, DAN BOLEH JUGA BEBERAPA ORANG AHLI WARISNYA BERPUASA
Dengan syarat, bahwa hutang puasanya bukan yang wajib berpuasa secara berturut-turut/bersambung seperti puasa kaffarah zhihar, maka jika hutang puasa yang harus dikerjakan berturut-turut/bersambung, maka yang membayarkan hutang puasanya harus satu orang saja dari ahli warisnya.
BAB PUASA SUNNAH
✒ Bersambung insya Allah
•••━══ ❁✿❁ ══━•••
Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 8 Rajab 1441 H / 3 Maret 2020 M.
Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan melalui admin grup masing-masing.
Barakallahu fikunna
#NAFiqih #NAFQ211
===================
Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Fiqh Al-Mar'ah Al-Muslimah yang telah berlalu, silakan mengunjungi:
Channel Telegram
Website
Tags:
NAFiqih