Kitab Tanbihat 'ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu'minat (Pertemuan 40)




KAJIAN FIQIH 



 Dari kitab :

تَنْبِيْهَات عَلَى أَحْكَامٍ تَخْتَصُّ بِالْمُؤْمِنَات




 Penulis :

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan حفظه الله




أخواتي قي الله رحمني ورحمكم الله




       Melanjutkan kajian kita tentang fiqih haji khusus wanita, kita masih pada poin ke-11


Masih pada permasalahan SA'I itu harus di dahului dengan melakukan THAWAF:


 Berkata Syaikh kami Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi رحمه الله dalam kitab tafsirnya Adhwaul Bayan (5/252),



"Yang saya ketahui bahwa jumhur ulama berpendapat sa'i tidak sah kecuali setelah thawaf. 
Andaikata sa'i sebelum thawaf, tidak sah sa'i nya menurut jumhur ulama termasuk imam madzhab yang empat."


 Imam Al-Mawardi dan lainnya menukil adanya ijma dalam masalah ini.
Kemudian menukil perkataan An-Nawawi yang baru kita sebutkan tadi serta jawaban beliau terhadap hadits Ibnu Syuraik,  kemudian beliau berkata, "perkataan dalam hadits 'sebelum aku thawaf', yakni thawaf ifadhah yang merupakan rukun haji, dan ini tidak menafikan bahwa dia sa'i setelah thawaf qudum yang itu bukan rukun haji."


 Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (5/240) (cet.hijr),

"Sa'i itu mengikuti thawaf, tidak sah kecuali harus di dahului thawaf."


Maka sa'i sebelum thawaf tidak sah, seperti itulah pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i dan pengikut Ar-Ra'yu.


 Berkata Atha, "sa'i itu sah."

 Imam Ahmad berpendapat, sa'i itu sah jika karena lupa, tapi jika sengaja maka sa'i-nya tidak sah.
Karena Nabi صلى الله عليه وسلم ketika ditanya tentang mendahulukan dan mengakhirkan disebabkan karena tidak mengerti dan lupa, beliau selalu menjawab, "tidak mengapa"



 Kemungkinan yang lain,  bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم melakukan sa'i setelah thawaf, dan beliau bersabda,


لتأخذوا عني مناسككم

"Hendaknya kalian mengambil dari ku manasik kalian."


 Maka diketahui dari penjelasan di atas, bahwa hadits yang dipakai sebagai dalil bagi mereka yang berpendapat sah nya sa'i sebelum thawaf, bahwa hadits tersebut tidak ada sisi pendalilannya,  karena hadits tersebut bisa dipahami dengan salah satu dari kemungkinan berikut:


1. Kemungkinan orang yang bertanya pada Nabi صلى الله عليه وسلم itu melakukan sa'i sebelum thawaf ifadhah, dan dia telah melakukan thawaf qudum, singga sebenarnya dia sa'i setelah thawaf qudum.

2. Atau kemungkinan dia yang melakukan itu tidak mengerti atau lupa, tanpa di sengaja.


 Saya jelaskan masalah ini panjang lebar, karena saat ini muncul orang yang berfatwa boleh sa'i sebelum thawaf secara mutlak.
Allahul musta'an, kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.



 CATATAN:


       Andaikata seorang wanita melakukan thawaf, selesai thawaf dia haidh, maka dia boleh langsung SA'I, karena sa'i tidak disyaratkan harus suci.


 Berkata ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (5/246),

"Mayoritas ulama berpendapat, bahwa tidak disyaratkan suci untuk sa'i antara Shafa dan Marwah, yang berpendapat seperti itu Atha, Malik, Syafi'i, Abu Tsaur dan Ashhabur Ra`yu."

Selanjutnya beliau mengatakan,
Berkata Abu Dawud, "Saya mendengar Ahmad berkata, apabila wanita thawaf lalu datang haidh, maka dia terus melanjutkan dengan sa'i antara Shafa dan Marwah, kemudian dia boleh pergi.


Diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah berkata,


إِذَا طَافَتْ الْمَرْأَةُ بِالْبَيْتِ وَ صَلَّتْ رَكْعَتَيْ الطَوَاف ثُمَّ حَاضَتْ فَلْتَطُفْ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةَ. 
(رواه الاثرم)

"Apabila wanita telah thawaf di Ka'bah lalu shalat sunnah dua raka'at (shalat sunnah thawaf), kemudian datang haidh, maka hendaknya dia melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah."
(HR. Al-Atsram)



12. Bersambung insya Allah




وصلى الله على نببنا محمد وعلى اله والحمدلله رب العالمين





 Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada hari Selasa, 2 Dzulhijjah 1436 H / 16 September 2015






 Nisaa` As-Sunnah
ِ
Lebih baru Lebih lama