fiqih muyassar bab thaharah

KITAB THAHARAH BAB PERTAMA


KAJIAN FIKIH
Dari kitab:
AL-FIQHU AL-MUYASSAR
(=FIKIH PRAKTIS)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:



Akhawati fillah, semoga rahmat Allah dicurahkan untukku dan untuk kalian semua.

Akhawati fillah, alhamdulillah kita sekarang mulai memasuki isi kitab fikih yang sedang kita kaji, selamat mengikuti, mohon dibaca berulang kali atau dicatat kembali dalam buku catatan khusus pelajaran fikih, jika kita sungguh-sungguh belajar meskipun lewat WhatsApp atau Telegram maka akan bertambah ilmu kita, dan akan benar ibadah kita, amin.

1. KITAB THAHARAH

Terdiri dari 10 bab:

● Bab Pertama 
Hukum-hukum Thaharah dan Air

● Bab Kedua
Bejana

● Bab Ketiga
Buang Hajat dan Adab-adabnya

● Bab Keempat
Siwak dan Sunnah-sunnah Fithrah

● Bab Kelima
Wudhu

● Bab Keenam 
Mengusap Dua Khuf, Sorban, dan Perban

● Bab Ketujuh  
Hukum-hukum Mandi

● Bab Kedelapan 
Hukum-hukum Tayamum

● Bab Kesembilan 
Hukum-hukum Najis dan cara Mensucikannya

● Bab Kesepuluh
Haidh dan Nifas

BAB PERTAMA

HUKUM-HUKUM THAHARAH DAN AIR

Bab ini terdiri dari beberapa bagian:

Bagian Pertama:

Definisi Thaharah, Keterangan tentang pentingnya, dan macam-macamnya

1. PENTINGNYA THAHARAH dan MACAM-MACAMNYA

Thaharah adalah kunci shalat, dan syaratnya yang paling ditekankan, dan syarat harus didahulukan dari yang dipersyaratkan (yakni thaharah harus didahulukan dari shalat, pen) 

THAHARAH TERBAGI MENJADI DUA MACAM

1) Thaharah Maknawi:

Yaitu sucinya hati dari syirik, maksiat, dan segala yang mengotorinya. Ia lebih penting dari thaharah badan.

Dan thaharah badan tidak mungkin terwujud dengan adanya najis syirik, sebagaimana Allah ta'ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ 

"Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis." (At-Taubah: 28)

2) Thaharah Hissiyah (indrawi):

Akan dijelaskan secara terperinci dalam baris-baris berikut.

2. DEFINISI THAHARAH

~ Menurut bahasa = bersih dan suci dari kotoran

~ Menurut istilah = mengangkat hadats dan menghilangkan khabats/najis.

KETERANGAN PADA CATATAN KAKI

HADATS = suatu sifat yang menempel  pada badan yang menghalangi shalat dan ibadah semisalnya yang disyaratkan harus thaharah, ia ada dua:

1) Hadats Kecil 

Yaitu hadats yang ada pada anggota wudhu seperti, sesuatu yang keluar dari dua jalan berupa kencing atau kotoran (BAB) dan ia hilang dengan cara berwudhu.

2) Hadats Besar 

Yaitu hadats yang ada pada seluruh tubuh seperti junub, dan ini hilang dengan cara mandi.

Maka bersuci dari hadats besar dengan cara mandi.

Dan bersuci dari hadats kecil dengan cara berwudhu.

Sedangkan pengganti keduanya ketika ada udzur adalah tayammum. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti', 1/19, dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/2328)

KHUBUTS adalah najis, keterangannya akan hadir pada pembahasan berikutnya.
(Selesai catatan kaki).

Yang dimaksud dengan mengangkat hadats adalah:

Menghilangkan sifat yang menghalangi shalat dengan menggunakan air yang disiramkan ke seluruh badan jika berhadats BESAR. Jika berhadats KECIL, maka cukup dengan membasuh anggota-anggota wudhu disertai niat.

Jika tidak mendapati air atau tidak mampu menggunakan air (karena sakit), maka dia bisa menggunakan pengganti air yaitu DEBU sesuai dengan cara yang diperintahkan secara syar'i.

Keterangannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab Tayamum, insya Allah.

Yang dimaksud dengan 'hilangnya khabats' adalah:

Menghilangkan 'najis' dari:
badan,
pakaian, dan
tempat shalat.

Maka thaharah hissiyah (indrawi) terbagi menjadi dua:

1) Thaharah/bersuci dari hadats, dan dikhususkan pada badan.

2) Thaharah dari khabats (najis), yang ada pada badan, pakaian, dan tempat shalat.

HADATS ADA DUA:

1) Hadats kecil, yaitu yang mewajibkan wudhu.

2) Hadats besar,  yaitu yang mewajibkan mandi.

KHABATS/NAJIS TERBAGI TIGA:

1) Najis yang wajib dicuci
2) Najis yang wajib diperciki air
3) Najis yang wajib diusap.

BAGIAN KEDUA:

AIR YANG LAYAK DIPAKAI UNTUK BERSUCI

Thaharah/bersuci itu membutuhkan sesuatu untuk dipakai bersuci, yang dengannya dapat menghilangkan najis, dan menghilangkan hadats, yakni: AIR. Air yang bisa dipakai untuk bersuci adalah AIR SUCI.

AIR SUCI adalah: Suci pada zatnya, dan menyucikan untuk selainnya.

Air seperti itu adalah air yang masih tetap asli sebagaimana ia diciptakan, yakni: sesuai sifat asal ia diciptakan, baik air yang turun dari langit seperti: Hujan salju yang telah mencair, dan
embun, Atau air yang mengalir di bumi, seperti: Air sungai mata air/sumber sumur, dan air laut.

Dalilnya firman Allah ta'ala,

وينزل عليكم من السماء مآء ليطهركم به

"Dan Allah menurunkan untuk kalian air (hujan) dari langit untuk kalian bersuci dengannya." (QS. Al-Anfal: 11)

Dan firman Allah ta'ala,

وأنزلنا من السمآء مآء طهورا

"Dan Kami turunkan dari langit air yang suci." (QS. Al-Furqan: 48)

Dan juga berdalilkan sabda Nabi صلى اللة عليه وسلم,

اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

"Ya Allah sucikanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju, dan embun." (Hadits Muttafaqun alaihi, riwayat Bukhari, no 744 dan Muslim, no 598)

Dan berdasarkan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم tentang air laut,

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

"Ia (laut) itu suci airnya, dan halal bangkainya." (HR. Abu Dawud, no 73; At-Tirmidzi, no 69; An-Nasa'i, no 59; Ibnu Majah, no 3246; At-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan shahih," dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, no. 58)

Thaharah tidak bisa (tidak sah) dilakukan dengan menggunakan benda cair selain air, seperti:
Cuka, bensin, jus, air jeruk, dan semisalnya.

Berdalilkan firman Allah ta'ala,

فلم تجدوا مآء فتيمم صعيدا طيبا

"...lalu kalian tidak mendapat air, maka tayammumlah dengan debu yang baik/suci." (QS. Al-Maidah: 6)

Seandainya thaharah itu boleh menggunakan cairan selain air, maka ketika tidak ada air niscaya Allah ta'ala menjadikannya sebagai pengganti air dan tidak  menjadikan tanah/debu sebagai pengganti air.

BAGIAN KETIGA 

AIR APABILA TERCAMPUR DENGAN NAJIS

Air apabila tercampur dengan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifatnya air:

1. Baunya
2. Rasanya
3. Warnanya

maka air tersebut menjadi NAJIS menurut kesepakatan ijma, tidak boleh memakainya, tidak bisa menghilangkan hadats, dan tidak bisa untuk membersihkan najis, sama saja hukumnya baik air itu sedikit maupun banyak.

Adapun jika air itu tercampur dengan najis, tapi tidak berubah salah satu dari sifat air, maka jika airnya BANYAK, maka hukum air tersebut tetap SUCI dan bisa dipakai untuk taharah/bersuci. Tapi jika airnya SEDIKIT, maka hukumnya NAJIS dan tidak bisa dipakai untuk bersuci.

Batasan air yang banyak adalah lebih dari 2 QULLAH.

Keterangan makna qullah

Qullah artinya gentong.
bentuk jamaknya adalah قُلَلٌ dan قُلاَلٌ. 

Ukurannya sama dengan 93,075 sha, sama dengan 160,5 liter air

2 qullah, kurang lebih sama dengan 5 qirab (tempat air dari kulit yang biasa dibawa musafir zaman dahulu).

Adapun batasan air sedikit yang kurang dari itu.

Dalilnya:
Hadits Abu Sa'id Al-Khudri رضي الله عنه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

إِنَّ الْمَآءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِسُهُ شَيْء

"Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya 3/15, Abu Dawud no 61, An-Nasa`i  no. 277, dan At-Tirmidzi no. 66)

Dan hadits Ibnu Umar رضي الله عنهما, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَآءُ قَلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

"Apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis." (HR. Ahmad 2/27, Abu Dawud no. 63, At-Tirmidzi no. 67 dan An-Nasa'i no. 52, dan Ibnu Majah no. 517)

Bagian keempat:

AIR JIKA TERCAMPUR DENGAN SESUATU YANG SUCI

Air jika tercampur dengan sesuatu yang suci, seperti:

Daun-daun pohon, atau
sabun, atau
al-usynan (sabun tangan, atau pasta gigi) 
bidara, atau
benda-benda suci lainnya.

Dan air tersebut tidak didominasi oleh benda yang mencampurinya, maka pendapat yang benar, bahwa air tersebut SUCI dan boleh dipakai untuk bersuci dari hadats dan najis, karena Allah ta'ala berfirman,

{وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ } [النساء : 43]

"Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kalian menyentuh wanita, kemudian kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci, dan usaplah wajah kalian dan tangan kalian." (QS. An-Nisa`: 43)

Lafaz/kata مَآء  dalam ayat di atas adalah nakirah (bermakna umum) dalam konteks kalimat negatif, maka bermakna semua air, tidak ada beda (sama saja) apalah itu air murni atau air yang telah tercampuri (dengan sesuatu yang suci).

Juga berdalilkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para wanita yang memandikan jenazah putri beliau,

اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ بِمَآءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِيْ الْآخِرَةِ كَافُوْرًا، أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ.

"Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih dari itu jika menurut kalian harus demikian, dengan air dan daun bidara, dan gunakan pada basuhan terakhir dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus." (HR. Bukhari Muslim)

Bagian kelima:

HUKUM AIR MUSTA'MAL DALAM THAHARAH

Air musta'mal (air yang telah dipakai) dalam thaharah -seperti air yang jatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi- adalah air:
Suci dan mensucikan menurut pendapat yang shahih,
dapat menghilangkan hadats, dan
dapat menghilangkan najis, 
selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya: bau, rasa, dan warnanya.

Dalil kesuciannya adalah,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم 
إِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُوْنَ عَلَى وُضُوْئِهِ

"Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم apabila berwudhu maka para sahabat hampir bertikai (karena memperebutkan bekas) air wudhu beliau." (HR. Bukhari, no.189)

Beliau صلى الله عليه وسلم juga pernah menuangkan air wudhunya kepada Jabir ketika dia sakit, hadits Muttafaq alaihi, riwayat Bukhari, no 5651, dan Muslim, no 1616.

Andaikata air musta'mal itu najis, niscaya beliau tidak memperbolehkan melakukan hal itu.

Juga karena Nabi صلى الله عليه وسلم, para sahabatnya, dan istri-istri beliau, mereka biasa berwudhu dari bejana dan tempat-tempat minum, dan mereka mandi dalam ember besar, yang seperti ini tidak akan selamat dari jatuh dan menetesnya air dari orang yang memakai air tersebut (musta'mal).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Abu Hurairah ketika dia sedang junub,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

"Sesungguhnya orang Mukmin itu tidak najis." (HR. Muslim, no 371)

Jika demikian, maka air tidak akan hilang kesuciannya dengan sebab seorang Mukmin menyentuhnya (sebab tubuh orang Mukmin itu tidak najis, pen).

Bagian Keenam:

AIR SISA MANUSIA DAN BINATANG TERNAK

As-Su'ru = adalah air yang tersisa dalam bejana setelah ada yang meminumnya.

Manusia itu SUCI, maka sisa minumannya juga SUCI, sama saja apakah dia seorang Muslim atau kafir, demikian juga orang junub dan wanita yang sedang haid. Sungguh telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

اَلْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسٌ 

"Orang Mukmin itu tidak najis." (HR. Muslim, no. 371)

Dan dari Aisyah رضي الله عنها,

أَنَّهَا كَانًتْ تَشْرَبُ مِنَ الَإِنَاءِ وَهِيَ حَائِضٌ، فَيَأْخُذُهُ رَسْلُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم، فَيَضَعُ فَاهُ  عَلَى مَوْضِعِ فِيْهَا

"Bahwa dia pernah minum dari bejana ketika dia sedang haid, lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengambilnya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulut Aisyah." (HR. Muslim, no. 300)

Para ulama telah sepakat atas SUCInya air sisa minuman hewan yang dagingnya HALAL dimakan, baik hewan ternak atau lainnya.

Adapun hewan yang dagingnya TIDAK HALAL dimakan, seperti binatang buas, keledai, dan semisalnya maka pendapat yang shahih bahwa sisanya juga SUCI, tidak berpengaruh terhadap air, khususnya jika airnya banyak.
Adapun jika airnya sedikit dan berubah karena telah diminum oleh hewan tersebut, maka ia NAJIS.

Dalilnya, adalah hadits di atas, ketika Nabi صلى الله عليه وسلم ditanya tentang air (kolam) yang sering didatangi berulang-ulang oleh hewan-hewan dan binatang buas, maka beliau bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ 

"Jika air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis."

Dan sabda beliau tentang KUCING yang minum dari bejana,

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

"Sesungguhnya ia (kucing) itu tidak najis, ia hanyalah termasuk binatang jantan dan betina yang berada di sekitar kalian (berada di dalam rumah kalian)." (HR. Ahmad, no. (5/296), Abu Dawud, no. 75, At-Tirmidzi, no. 92, dan dishahihkan oleh Al-Albani, no.23)

Dan juga karena sulit untuk menghindarinya secara umum, seandainya kita berpendapat bahwa sisa minumannya najis, dan wajib menyuci segala sesuatu (dari bekasnya), maka hal itu akan sangat MEMBERATKAN, sedangkan semua yang memberatkan telah diangkat dari umat ini.

Adapun air minum sisa dari ANJING, maka ia NAJIS, b
egitu pula BABI.

Adapun tentang anjing, maka diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

"Sucinya bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama (dicuci) dengan tanah." (HR. Bukhari, no.172, Muslim, no. 279, dan lafadznya milik Muslim)

Adapun BABI, karena ia najis, buruk, dan kotor.
Allah ta'ala berfirman,

فَإِنَّهُ رِجْسٌ

"Maka sesungguhnya ia (babi) itu kotor." (QS. Al-An'am: 145)

BAB KEDUA

BEJANA

Bersambung insya Allah

Lebih baru Lebih lama