Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 66): HUKUM-HUKUM NIFAS

HUKUM-HUKUM NIFAS



KAJIAN  FIQIH
Dari kitab :
Fiqhu al-Mar`ati al-Muslimati
Penulis :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد :



Saudaraku seiman, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepadaku dan kepada kalian semua.



HUKUM-HUKUM NIFAS

Hukum-hukum nifas SAMA seperti hukum-hukum haidh, kecuali beberapa perkara sebagai berikut:

1. Iddah, talak dihitung iddahnya dengan haidh bukan dengan nifas.
Bahkan talak jatuh ketika istri sedang hamil, maka masa iddahnya habis setelah melahirkan, bukan dengan nifas ; kalau talak dijatuhkan setelah istri melahirkan, maka mulai dihitung iddahnya dengan menunggu haidhnya datang kembali seperti telah dijelaskan sebelumnya.

2. Lamanya ILA` dihitung dengan masa haidh, dan tidak dihitung dengan masa nifas.

ILA` yaitu seorang suami bersumpah tidak menjima' istrinya selamanya atau selama lebih dari empat bulan, maka jika dia bersumpah sedangkan istrinya menuntut haknya untuk jima', maka hendaklah menunggu selama empat bulan setelah sumpahnya, jika telah sempurna empat bulan, hendaklah suami dipaksa untuk melakukan jima', atau jika tidak mau, maka istri boleh menuntut cerai. Selama menunggu masa 4 bulan jika istri nifas, maka tidak terhitung berbeda dengan haidh, karena lama masa haidh terhitung pada masa ila`.

3. BALIGH ditandai dengan datangnya haidh, tidak dengan nifas. Karena wanita tidak mungkin hamil sampai dia mendapati haidh, maka tanda balighnya dengan haidh, barulah kemudian dia bisa hamil.

4. Darah haidh jika berhenti beberapa hari, lalu keluar lagi darah masih pada hari-hari rutinitas haidnya, maka dihukumi sebagai darah haidh, misalnya: 

Biasanya dia mendapati haidh selama delapan hari, tapi darah keluar hanya empat hari kemudian berhenti selama dua hari, pada hari ketujuh dan kedelapan darah keluar lagi, maka tidak ada keraguan bahwa itu adalah darah haidh, dia harus berhenti shalat dan puasa selama delapan hari.

Berbeda dengan darah nifas, jika darah nifas berhenti sebelum 40 hari, berhenti selama beberapa hari lalu keluar lagi darah masih belum selesai masa 40 hari, maka ada keraguan, apakah itu darah nifas atau bukan, sebagian berpendapat, wajib dia shalat dan puasa fardhu, tapi haram bagi dia seperti haramnya wanita haidh selain perkara yang wajib dan hendaklah dia mengqadha (puasa) setelah suci sebagaimana kewajiban qadha (puasa) bagi wanita haidh.

Dan hal itu juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa tidak ada darah yang keluar dihukumi 'darah meragukan', akan tetapi sesuatu yang meragukan itu perkara nisbi/relatif, masing-masing orang berbeda, tergantung ilmu dan pemahamannya.

Al-Kitab Al-Qur`an dan As-Sunnah keduanya telah menjelaskan segala sesuatu, dan Allah tidak mewajibkan seseorang untuk puasa dua kali (dalam pendapat madzhab Hambali di atas, wanita di masa nifas jika darah berhenti sebelum 40 hari, setelah suci darah keluar lagi, maka dikatakan ini darah yang meragukan, dia diwajibkan shalat dan puasa, tapi juga harus mengqadha puasa lagi, pen.), Allah juga tidak mewajibkan thawaf dua kali, dan seterusnya. Kecuali jika memang dari awal dia tidak puasa (karena haidh atau nifas) maka dia wajib qadha puasa. Jika seorang hamba telah berusaha semampunya untuk mengerjakan kewajibannya, maka dia telah selesai dari kewajibannya sebagaimana firman Allah ta'ala,

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ } [البقرة : 286]

"Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai kemampuannya." (QS. Al-Baqarah: 286)

Juga Allah berfirman,

{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ...} [التغابن : 16]

"Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian." (QS. At-Taghabun: 16)

Ini adalah pendapat yang MASYHUR di kalangan ulama' fiqih madzhab Hambali, akan tetapi yang benar , bahwa  darah jika setelah berhenti lalu keluar lagi masih pada masa-masa nifas 40 hari, maka darah itu dihukumi tetap darah nifas atau kemungkinan itu adalah darah haidh, kecuali jika darah keluar terus menerus tanpa berhenti, maka yang seperti ini dihuku
 mi darah istihadhah, hal ini seperti yang telah kami jelaskan yang lalu dari kitab al-Mughni 1/349, dari Imam Malik berkata, "Jika melihat darah keluar lagi setelah berhenti selama sehari atau dua hari, maka dihukumi darah nifas atau kemungkinan darah haidh."

5. Bahwasanya ketika seorang wanita suci dari haidh SEBELUM hari rutinitasnya, maka boleh bagi suaminya untuk melakukan JIMA` dengannya. Adapun NIFAS, jika suci sebelum 40 hari, maka MAKRUH bagi suami untuk melakukan jima' dengannya menurut pendapat madzhab yang MASYHUR.

Adapun pendapat yang BENAR tidak makruh suami menjima' istrinya, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, sebab 'makruh' adalah hukum syar'i membutuhkan dalil syar'i, dan dalam hal ini tidak ada dalil syar'i, kecuali apa yang disebutkan oleh Al-Imam Ahmad dari Utsman bin Abi al-Ash, bahwa istrinya mendatanginya sebelum 40 hari, maka dia berkata kepada istrinya, "Janganlah kamu mendekatiku." Hal ini tidak mengharuskan dihukumi makruh, karena hal itu diucapkan kemungkinan hanya sebagai langkah hati-hati dan khawatir bahwa istrinya belum diyakini sudah benar-benar suci dari nifas, atau mungkin khawatir darah akan keluar lagi karena melakukan jima', atau sebab-sebab yang lain, Allahu a'lam.

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 12 Rajab 1437 H / 20 April 2016 M.

Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan ketika jadwal Tanya Jawab hari Kamis dan Jum'at bulan depan. Barakallahu fikunna

=============

Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Fiqh al-Mar`ah al-Muslimah yang telah berlalu, silakan kunjungi website kami, 
http://annisaa.salafymalangraya.or.id

Channel Telegram
• http://bit.ly/NisaaAsSunnah
• https://bit.ly/fiqihwanitamuslimah



Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama