Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 81): Dan Orang (Laki-Laki) Kafir Tidak Halal bagi WANITA MUSLIMAH Berdasarkan Nash (Dalil) dan Ijma' Para Ulama

Dan orang (laki-laki) kafir tidak halal bagi WANITA MUSLIMAH berdasarkan nash (dalil) dan ijma' para ulama

KAJIAN FIKIH
Dari kitab:
Fiqhu Al-Mar`ati Al-Muslimati
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin _رحمه الله_



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:

Akhawati fillah, kita lanjutkan kajian fikih, sampai pada konsekwensi hukum bagi mereka yang kafir. 
Kita kaji sekarang konsekwensi hukum yang keenam:

6. HARAM MENIKAHI WANITA MUSLIMAH disebabkan kekafirannya.

Dan orang (laki-laki) kafir tidak halal bagi WANITA MUSLIMAH berdasarkan nash (dalil) dan ijma' para ulama. 

Allah ta'ala berfirman,

*{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ}*

"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Ibnu Qudamah _رحمه الله_ berkata dalam kitab Al-Mughni (6/592),

"Dan semua orang kafir selain Ahlul Kitab (selain Yahudi dan Nasrani), tidak ada khilaf/perselisihan di antara para ulama, bahwa mereka menghukumi HARAM PARA WANITANYA DAN SEMBELIHAN MEREKA."

Selanjutnya beliau berkata,
"Dan WANITA yang murtad,  HARAM menikahinya apapun agama WANITA tersebut, karena dia tidak dihukumi sebagai orang yang beragama pada agama yang dia berpindah pada agama tersebut, maka HARAM menikahinya."

 Keterangan pen.:
"WANITA yang murtad, apapun agamanya, HARAM dinikahi, misalnya: WANITA murtad lalu masuk agama Yahudi atau Nasrani, maka dia HARAM dinikahi, sebab WANITA ini bukan dihukumi sebagai WANITA BERAGAMA, tapi dihukumi WANITA murtad yang HARAM dinikahi." (selesai keterangan pen.)

Dan beliau berkata dalam Bab Murtad 8/130,
"Dan jika dia menikah, maka tidak sah nikahnya, sebab tidak teranggap pernikahannya, sebagaimana halnya jika orang kafir MENIKAHI WANITA muslimah, maka sama, haram hukumnya."

Sekarang telah jelas hukumnya, bahwa HARAM MENIKAHI wanita MURTAD, dan nikahnya laki-laki murtad itu tidak sah.

Bagaimana hukumnya jika murtad setelah nikah?

Ibnu Qudamah _رحمه اللّٰه_ berkata dalam Al-Mughni 6/298,
"Apabila salah satu dari suami istri murtad SEBELUM TERJADI JIMA', maka dihukumi TELAH RUSAK PERNIKAHANNYA secara langsung ketika dia murtad, dan tidak ada saling mewarisi di antara keduanya. Dan jika murtad SETELAH TERJADI JIMA', maka ada dua pendapat:
1. Segera bercerai
2. Menunggu sampai habis masa 'iddah."

Masih dalam kitab Al-Mughni 6/639:

"Bahwa RUSAKNYA pernikahannya karena MURTAD SEBELUM terjadinya JIMA' merupakan pendapat umum dari para ulama.
Adapun jika murtad SETELAH terjadi JIMA', maka seketika itu RUSAK pernikahannya, ini adalah pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah.
Adapun harus menunggu sampai habis masa 'iddah, barulah berpisah/cerai, ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'i."

Hal itu menunjukkan bahwa keempat IMAM (Malik, Hanafi, Hambali, dan Syafi'i) SEPAKAT menghukumi RUSAKNYA pernikahannya jika salah satu dari suami-istri murtad.

Akan tetapi jika
murtad SEBELUM jima', maka nikahnya RUSAK seketika, dan jika murtad SETELAH jima', maka menurut mazhab Malik dan Abu Hanifah, nikahnya RUSAK seketika, tapi menurut mazhab Asy-Syafi'i, menunggu habis masa iddahnya, dan menurut Hambali ada dua riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat seperti dua mazhab di atas.

Pada halaman 640, dijelaskan: 

"Jika kedua suami istri murtad, maka hukumnya sama seperti jika salah satunya murtad. 

Jika SEBELUM jima', maka bercerai seketika.
Jika SETELAH jima', maka apakah langsung berpisah/cerai ataukah menunggu sampai habis masa 'iddah?
Ada dua pendapat dalam hal ini, dan ini pendapat mazhab Asy-Syafi'i.

Kemudian beliau menukil pendapat
 dari Abu Hanifah, bahwa yang lebih baik, NIKAHNYA TIDAK RUSAK, sebab kedua suami istri tersebut tidak berbeda agama, sama misalnya jika keduanya masuk Islam (tidak harus mengulangi nikah, sebab nikahnya tidak RUSAK, pen.)."

Kemudian Ibnu Qudamah _رحمه الله_ membantah adanya QIYAS (penyamaan) dalam hal ini.

 Keterangan pen.:
Yang dimaksud QIYAS, yakni menyamakan hukum tidak RUSAKNYA nikah jika:
a). Kedua suami istri murtad.
b). Kedua suami istri masuk Islam.

 Ibnu Qudamah _رحمه الله_ membantah pendapat Abu Hanifah _رحمه الله_ yang mengqiyaskan/menyamakan kedua keadaan di atas. (selesai Keterangan pen.).

Bersambung insya Allah

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 25 Dzulhijjah 1437 H / 27 September 2016 M.


Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan ketika jadwal Tanya Jawab hari Kamis dan Jum'at bulan depan.

Barakallahu fikunna

===================

Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah yang telah berlalu, silakan mengunjungi:

Website 
       ● http://annisaa.salafymalangraya.or.id

Channel Telegram
       ● http://bit.lyb/nisaaassunnah
       ● http://bit.ly/fiqihwanitamuslimah



Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama