Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if (Pertemuan 24)



http://t.me/NAmanhaj

Pertemuan 24

KAJIAN MANHAJ

Dari kitab:
Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if
(Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Mengkritisi Orang, Kitab dan Golongan)

Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Umair Al-Madkhali حفظه الله تعالى

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه، أما بعد:

SEBAB-SEBAB BOLEHNYA GHIBAH

4. Dalam rangka untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejelekan, serta untuk menasihati mereka, antara lain melakukan jarh (menyampaikan celaan) pada para perawi dan saksi-saksi yang pantas untuk dicela.

Hal itu boleh menurut kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib jika ada kemaslahatan padanya.

Misalnya, jika ada seorang thalibul ilmi yang sering mendatangi seorang ahlul bid'ah yang fasik dengan tujuan untuk mencari ilmu kepada orang tersebut dan dikhawatirkan hal itu akan berbahaya untuk si penuntut ilmu, maka wajib hukumnya untuk menyampaikan nasihat kepadanya dengan cara ghibah, yakni menjelaskan keadaan ahlul bid'ah dan kebid'ahannya tersebut, dengan syarat berniat untuk menyampaikan nasihat.

Keterangan lebih jelas akan disampaikan nanti pada tempatnya.

5. BOLEH MELAKUKAN GHIBAH UNTUK MENGENALKAN (MU'ARRIF)

Contoh:
Ketika ada seorang asing/pendatang yang bertanya alamat  seseorang yang pincang kakinya, ketika orang yang ditanya tidak jelas siapa yang dimaksud lalu si penanya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah alamat fulan yang pincang kakinya. Maka ghibah untuk tujuan seperti ini dibolehkan dan tidak ada dosa ghibah padanya.

6. BOLEH GHIBAH TERHADAP ORANG YANG MENAMPAKKAN KEFASIKANNYA

Orang yang berbuat fasik/dosa secara terang-terangan di depan khalayak ramai, tidak malu dan tidak berusaha menyembunyikan kefasikannya, maka membicarakan kejahatan dan kefasikannya dibolehkan dan tidak dihukumi ghibah.

Keterangan:

Dua nomor di atas (no. 5 dan no. 6) adalah tambahan dari penerjemah, sebab tidak ditemukan dalam kitab aslinya).

Dari Keterangan dan contoh di atas, bisa difahami bahwa untuk jarh (menyampaikan celaan kepada yang boleh dicela) tidak perlu ada syarat harus menyebutkan sisi kebaikan yang ada pada seseorang yang dijarh, tidak pula ada kewajiban muwazanah, seperti yang diwajibkan oleh mereka yang tidak memahami permasalahan jarh, bahkan mereka berpendapat bahwa mengkritik saja atau menjarh seseorang atau kelompok tertentu tanpa menyebutkan sisi kebaikannya dan tanpa muwazanah adalah tidak jujur, tidak objektif, tidak adil, dan tuduh-menuduh lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata,  Ada sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal,  "Sesungguhnya berat/sulit bagiku mengatakan fulan itu begini dan fulan itu begitu (yakni sulit melakukan jarh)."
Maka Imam Ahmad berkata,

إذا سكت أنت وسكت أنا، فمتى يعرف الجاهل الصحيح من السقيم؟!

"Jika kamu diam dan saya juga diam, lalu kapan orang yang tidak tahu (orang jahil) mengetahui mana yang shahih dan mana yang dhaif?!"

Bersambung insya Allah

•••━════━•••

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Senin, 4 Dzulhijjah 1440 H / 5 Agustus 2019.
______

Akhawati fillah, jika ada yang tidak dipahami, silakan dicatat untuk ditanyakan melalui admin grup masing-masing.

Barakallahu fikunna

#NAManhaj #NAManhaj24
======================

Bagi yang ingin mendapatkan faedah dari dars Kitab Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutubi wath Thawa'if yang telah berlalu, silakan mengunjungi:
Channel Telegram
      ● http://t.me/NAmanhaj
      ● http://t.me/nisaaassunnah
Website
      ● http://www.nisaa-assunnah.com/p/namanhaj.html
      ● http://www.nisaa-assunnah.com

Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama