Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 22)



KAJIAN FIQIH DARI KITAB:


ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ

ﻟﻔﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ


ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﺼﻠﺎﺓ ﻭﺍﻟﺴﻠﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ آﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻣﻦ ﻭﺍﻟﺎﻩ. ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ:


Apakah wanita yang memakai krim rambut dan lipstik itu membatalkan wudhu?

Jawab:

Wanita yang memakai krim rambut atau yang lainnya (pacar, semir, pent.) tidak membatalkan wudhu, tidak membatalkan puasa juga, begitupula krim atau pemerah bibir tidak membatalkan wudhu juga tidak membatalkan puasa, tapi khusus ketika PUASA jika RASA dari krim atau lipstik tersebut sampai masuk ke tenggorokan, maka tidak boleh memakainya di wajah atau di bibir.

Hukum seseorang yang bangun tidur, melihat BASAH tapi tidak MIMPI:

Hukumnya tidak wajib MANDI. (sebab YAKIN tidak MIMPI, pen.)

Andaikata melihat ada bekas MANI, tapi dia RAGU apakah mani itu keluar beberapa malam yang lalu atau keluar baru tadi malam, maka hendaklah yang dia yakini itu keluar baru tadi malam, maka hendaklah dia MANDI. Sebab dia YAKIN melihat MANI.

Kasus yang pertama tidak wajib mandi, sebab ada KERAGUAN. (Dia melihat basah tapi tidak mimpi, sehingga RAGU apakah air itu mani atau bukan, pen.)

Dalil permasalahan di atas hadits Abu Hurairah dan Abdullah bin Zaid ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ tentang seseorang yang merasakan sesuatu di perutnya, kemudian dia RAGU-RAGU apakah keluar (angin) atau tidak?
Maka Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ menjawab:

ﻟﺎ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﺣﺘﻰﻳﺴﻤﻊ ﺻﻮﺗﺎ ﺃﻭ ﻳﺠﺪ ﺭﻳﺤﺎ

"Jangan batalkan (shalat) sampai dia mendengar suara atau mendapati bau." (HR. Al-Bukhari Muslim)

Dan dalam hadits Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ:

ﻟﺎ ﻳﺨﺮﺝ - ﺃﻱ: ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ - ﺣﺘﻰ ﻳﺴﻤﻊ ﺻﻮﺗﺎ ﺃﻭ ﻳﺠﺪ ﺭﻳﺤﺎ

"Jangan keluar - yakni dari madjid - sampai mendengar suara atau mendapati bau."

Meskipun ada QARINAH, yaitu terasa ada yang bergerak di perut, seperti gerakan angin akan keluar,  tapi karena ada KERAGUAN keluar atau tidak, maka TIDAK batal wudhunya.

Dan siapa yang YAKIN hadats, dan SYAK/RAGU-RAGU dalam thaharahnya, maka yang diambil hadatsnya, yakni BATAL wudhunya.

Dalil dalam masalah ini adalah hadits Abu Hurairah dan Abdullah bin Zaid ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ عنهما diambil dari bab mengqiyaskan yang berlawanan.

Contoh hukum QIYAS yang berlawanan:

Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda:

ﻭﻓﻲ ﺑﻀﻊ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺻﺪﻗﺔ، ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، أﻳﺄﺗﻲ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﺷﻬﻮﺗﻪ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺃﺟﺮ؟ ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ، ﺃﺭﺃﻳﺘﻢ ﻟﻮ ﻭﺿﻌﻬﺎ ﻓﻲ ﺣﺮﺍﻡ. ﺃﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﺯﺭ؟ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻧﻌﻢ، ﻓﻘﺎﻝ: ﻓﻜﺬﺍﻟﻚ ﺍﺫﺍ ﻭﺿﻌﻬﺎ ﻓﻲ ﺣﻠﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﺟﺮ

"Dan jima' kalian merupakan shadaqah, mereka para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah jika kami melampiaskan syahwat itu ada pahalanya? Beliau menjawab: "Ya, bagaimana menurut kalian jika melampiaskan syahwat pada yang haram, apakah berdosa?" Mereka menjawab: "Ya." Maka Beliau bersabda: "Begitulah, apabila melampiaskan syahwat pada yang halal ada pahalanya."" (HR. Muslim dan Ahmad)

Keterangan pen.:

Dalam keterangan fiqih di atas bisa disimpulkan bahwa:

HUKUM sesuatu ditetapkan hanya pada yang diYAKINI saja,

Sedangkan yang SYAK/RAGU-RAGU, dibuang/ditinggalkan

CONTOH:

Jika kita YAKIN sudah wudhu, kemudian SYAK/RAGU-RAGU apakah batal wudhu atau tidak?

MAKA yang diambil hukumnya yang diYAKINI bahwa dia suci, yakni tidak batal wudhunya.

Jika kita YAKIN berhadats dan RAGU-RAGU sudah wudhu atau belum, maka yang ragu-ragu dibuang dan yang diambil hukum yang diyakini, yakni berhadats dan belum wudhu.

HUKUM MEMEGANG MUSHAF bagi orang yang BERHADATS


MAKNA MUSHAF


Sesuatu yang tertulis padanya Al-Qur'an, baik sempurna atau tidak, bahkan meskipun hanya satu ayat tertulis pada selembar kertas dan selama tidak tertulis yang lainnya, maka itu dihukumi MUSHAF, meskipun itu pada papan juga dinamakan MUSHAF.

Contoh yang lain 'al-muhdats', ia adalah isim maushuf, maka maknanya SEMUA hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.

HADATS adalah sifat yang ada pada badan, yang mencegah untuk melakukan shalat dan selainnya yang disyaratkan harus thaharah.

Dalilnya firman Allah ta'ala:

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ ○ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ ○ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

"Sesungguhnya ia adalah Al-Qur'an yang Mulia, di dalam kitab yang terjaga (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'Alamiin." (Al-Waqiah: 77-80)

SISI PENDALILAN:


Bahwa dhamir 'hu' pada ayat ﻟﺎ ﻳﻤﺴﻪ (la yamassuhu), kembali pada Al-Qur'an, sebab ayat berhubungan dengan ayat berikutnya ﺗﻨﺰﻳﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ. Sedangkan ﺍﻟﻤﻨﺰﻝ (yang diturunkan) adalah Al-Qur'an, jadi BUKAN Al-Qur'an yang di langit, tapi Al-Qur'an yang diTURUNKAN di bumi.

Sedangkan yang dimaksud ﺍﻟﻤطهرﻭﻥ adalah orang yang suci dengan WUDHU atau MANDI, bukan diartikan malaikat yang suci.

Dalilnya:

وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

"Akan tetapi Dia hendak mensucikan kalian." (Al-Maidah: 6)

Jika ada yang berpendapat lain, dengan mengatakan:

Bahwa huruf "ﻟﺎ" pada ayat ﻟﺎ ﻳﻤﺴﻪ adalah "la nafiyah" bukan la nahiyah, yakni maknanya: " TIDAK ada yang menyentuhnya kecuali malaikat yang suci, dan bukan berarti: JANGAN menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah bersuci." (Pen.)

Maka jawabannya:

Bahwa kalimat KHABAR kadang-kadang bisa bermakna kalimat PERINTAH, bahkan kalimat khabar yang bermakna perintah, lebih kuat dari pada kalimat perintah itu sendiri, karena sesuatu itu tergambarkan SUDAH dilakukan. Seperti firman Allah ta'ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Dan orang-orang yang mati di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari." (Al-Baqarah: 234)

Firman-Nya "ﻳﺘﺮﺑﺼﻦ" (=mereka menunggu), ini adalah kalimat positif/khabar tapi bermakna PERINTAH, hendaknya mereka menunggu selama 4 bulan 10 hari.

Contoh yang lain dalam sunnah:

ﻟﺎ ﻳﺒﻴﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻊ ﺃﺧﻴﻪ

"Tidaklah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya." (HR. Al-Imam Malik)

Huruf ﻟﺎ di atas adalah ﻟﺎ ﻧﺎﻓﻴﺔ tapi diartikan ﻟﺎ ﻧﺎﻫﻴﺔ, maksudnya: kalimat dalam hadits di atas adalah kalimat berita, tapi maknanya kalimat LARANGAN, sehingga maknanya:

"JANGANlah seseorang menjual di atas yang dijual saudaranya."

DALIL yang kedua, bahwa orang yang berhadats tidak boleh memegang mushaf Al-Qur'an, adalah dalam surat-surat yang ditulis oleh Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:

Bersambung, insya Allah.

ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻪ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ العالمين


Diterjemahkan oleh Al Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada hari Selasa, 16 Rajab 1436 H / 5 Mei 2015 M.



WhatsApp Nisaa` As-Sunnah
Lebih baru Lebih lama