Kitab Fiqh Al Mar'atul Muslimah (Pertemuan 31)




KAJIAN FIQH 


 Dari kitab:



فقه المرأة المسلمة



Fiqh Al-Mar`atul Muslimah.

Penulis: Asy-Syaikh Utsaimin رحمه الله





بسم الله الرحمن الرحيم


  Melanjutkan kajian kita yang lalu, sampai pada "Hukum membaca Al-Qur'an bagi mereka yang wajib mandi (karena berhadats besar)".

  Asy-Syaikh Utsaimin رحمه الله dalam kajian yang lalu, lebih cenderung kepada pendapat tidak boleh membaca Al-Qur'an bagi wanita yang sedang haidh.

  Meskipun begitu, beliau menjelaskan juga pendapat yang berseberangan dengan beliau, yakni pendapat Syaikhul Islam رحمه الله sebagai berikut:



 Syaikhul Islam رحمه الله berpendapat:


"Tidak ada dalil yang jelas dan shahih yang melarang wanita haidh untuk membaca Al-Qur'an.
Oleh karena itu, wanita haidh boleh membaca Al-Qur'an, karena sebab berikut:

1. Bahwa hukum asalnya halal/boleh. Jika dilarang harus ada dalil yang melarang.

2. Bahwa Allah memerintahkan untuk membaca Al-Qur'an secara mutlak, dan Allah memuji orang yang membaca kitab-Nya, maka barangsiapa yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah dengan membaca Al-Qur'an maka kita minta dalilnya, dan jika tidak ada dalil shahih yang jelas dalam larangan, maka artinya masih tetap di atas perintah untuk membaca."


 Jika ada yang bertanya:

"Apakah tidak bisa di qiyaskan/disamakan wanita haidh dengan junub, sebab keduanya sama-sama wajib mandi?"


 Syaikhul Islam رحمه الله menjawab:

"Bisa di qiyaskan tapi ada perbedaan,

 (a) Orang junub bisa dengan mudah untuk mandi kapan saja dia kehendaki.

(b) Sedangkan wanita haidh tidak bisa menghilangkan hadats besarnya meskipun dia mandi jika darah haidhnya belum berhenti keluar

(d) Wanita haidh waktunya lama berhari-hari

(e) Junub waktunya hanya sebentar, segera mandi langsung bisa shalat juga bisa membaca Al-Qur'an



 Apalagi wanita di masa NIFAS, karena waktunya lebih lama lagi dari haidh, maka dia termasuk yang di beri rukhshah boleh membaca Al-Qur'an".

  Maksud perbedaan antara haidh dan junub di atas adalah:

untuk menjelaskan bahwa ketika junub dilarang membaca Al-Qur'an sebab waktu junub hanya sebentar. Berbeda dengan haidh apalagi nifas, boleh membaca Al-Qur'an karena waktunya haidh dan nifas itu lama, pen.

  Begitulah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam رحمه الله، ‌dan madzhab beliau termasuk madzhab yang kuat.



Selanjutnya Syaikh Utsaimin رحمه الله menulis:

Selama para ulama khilaf dalam masalah ini, dan dalam permasalahan hadits-hadits yang di dhaifkan, maka mengapa kita tidak menjadikan masalah ini dengan melihat HAJAT/KEBUTUHAN, yakni:

 Jika wanita haidh tersebut berhajat untuk membaca Al-Qur'an,
seperti:

a.  Dia punya hafalan, sehingga khawatir lupa hafalannya, atau

b. Guru yang mengajari murid-muridnya di pondok atau madrasah, termasuk juga ibu yang mengajar Al-Qur'an untuk anaknya di rumah, atau

c. Santri-santri pondok yang wajib menghafal Al-Qur'an

 Mereka yang punya hajat kebutuhan seperti di atas BOLEH membaca Al-Qur'an meskipun sedang haidh.


  Adapun jika tidak ada hajat dharuriy seperti di atas, maka sebaiknya mengambil sikap 'IKHTIYATHIY' (hati-hati), sebab wanita haidh dan nifas tidak diharamkan untuk BERDZIKIR apapun bacaannya, juga meskipun lafadz dzikirnya dari Al-Qur'an juga boleh.

Andaikata hal ini dipilih, maka menjadi madzhab yang kuat dan hilanglah khilaf.



HUKUM LEWAT DI MASJID BAGI YANG WAJIB MANDI

Bersambung insyaAllah




وصلى الله على نبينا محمد و على اله والحمد لله رب العالمين



Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada hari Selasa, 19 Syawal 1436 H / 4 Agustus 2015



WA Nisaa` As-Sunnah

Lebih baru Lebih lama